Amal Shaleh:
allah swt berfirman
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Tidaklah
mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan
semurni-murni ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah 4)
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الأعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sungguh
hanyasannya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap
orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan yang telah ia niatkan.” (HR. Muttafaqqun Alaihi)
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun berkata:
إِنَّ اللهَ لا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَابْتَغِي بِهِ وَجْهَهُ (رواه النسائي وحسنه الألباني)
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharap wajahNya.”
(HR. An Nasa’i dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani)
Di samping mengikhlaskan amal,
kitapun dituntut untuk beramal sesuai dengan apa yang telah disyariatkan
oleh Allah Azza wa Jalla melalui lisan RosulNya, Allah Azza wa Jalla
berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: Jikalau kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imron 31)
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan darinya maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan di dalam riwayat yang lain beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya tertolak.”
Dengan
dua syarat inilah seorang muslim dapat terjaga dari musuh-musuh
beratnya yaitu; Riya, Bid’ah dan Syirik. Abul Izz Al Hanafi berkata: “…Maka keduanya merupakan tauhid, tidak ada yang dapat menyelamatkan seorang muslim dari adzab
Allah
kecuali dengan keduanya: Pentauhidan Yang mengutus (tauhidul mursil),
dan Pentauhidan mengikuti yang diutus Shallallahu alaihi wa sallam.” (Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, hal: 200)
Ibnu Taemiyah berkata: “Secara
umum, keduanya merupakan dua landasan agung, yaitu: pertama: Hendaklah
kita tidak beribadah kecuali kepada Allah, kedua: Kita tidak beribadah
kepadaNya kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya.”. dan kedua
syarat ini adalah merupakan realisasi dari dua kaliamat syadat,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
Artinya: “Agar (Allah) menguji kalian; siapa diantara kalian yang paling baik amalannya.” (QS. Al Mulk 2)
Al Fudhail bin Iyadh berkata: “Yang terikhlas dan terbenar.” Mereka bertanya: Wahai Abu Ali, apakah yang dimaksud yang terikhlas dan terbenar? ia berkata: sesungguhnya
suatu amalan itu apabila dikerjakan dengan ikhlas namun tidak benar,
maka ia tidak akan diterima, dan apabila dikerjakan dengan benar namun
tidak ikhlas, itupun tidak akan diterima, sehingga ia menjadi ikhlas.
Dapat menjadi ikhlas manakala dikerjakan karena Allah Azza wa Jalla, dan
benar manakala sesuai dengan sunnah, dan itulah realisasi firman Allah
Azza wa Jalla:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka
barang siapa yang mengharap berjumpa dengan Robbnya, hendaklah ia
beramal shaleh, dan janganlah ia menyekutukanNya di dalam ibadah dengan
seorangpun juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar